Sabtu, 23 Februari 2013

Mengelola Serikat Pekerja dalam Lingkungan Industrial Relations yang Berubah


Bagaimana serikat pekerja telah berubah di Indonesia saat ini, dibanding masa Orde Baru? Apakah menjadi semakin sulit dikelola karena telah bertambah jumlah maupun ukurannya atau masih terkendali selama pemerintah dan manajemen korporasi mampu berkolaborasi dengan mereka?
Dengan adanya Keputusan Menteri No. 5 tahun 1998 mengenai pendaftaran serikat buruh, maka hal itu menandai berakhirnya SPSI sebagai serikat pekerja tunggal. Di bawah pemerintahan Presiden Habibie, Indonesia meralat Konvensi ILO no. 87 tentang kebebasan membentuk serikat pekerja dan hal itu kemudian diikuti oleh keluarnya Undang-Undang No. 21 tahun 2000 yang mengatur antara lain pembentukan, keanggotaan, pendaftaran, hak dan tanggung jawab serta keuangan serikat pekerja. Sejak keluarnya Undang-undang No. 21 tersebut, jumlah serikat pekerja pun bertumbuh pesat. Menurut data Ditjen PHI dan Jamsostek Depnakertrans tahun 2009, terdapat 3 konfederasi serikat pekerja dan 91 federasi serikat pekerja (sumber: Hukum online).


Pada era Orde Baru, hanya ada satu serikat pekerja yang diakui dan dikontrol oleh pemerintah; yaitu FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Ini adalah cara pemerintah untuk merespon pada persyaratan ILO agar mengijinkan adanya serikat pekerja. Selain serikat pekerja tunggal ini, pemerintah juga membolehkan serikat pekerja non afiliasi pada tingkat korporasi. Meskipun begitu, dengan hanya organisasi tunggal dan non afiliasi, serikat pekerja ini tidak efektif dalam memobilisasi dan membangun kekuatan yang cukup untu mengusahakan perbaikan kesejahteraan pada anggotanya.
Tetapi kini setelah keluarnya UU No. 21 tahun 2000, ada kebebasan yang lebih besar dan lebih mudah untuk membangun serikat pekerja dalam perusahaan; hanya perlu 21 hari untuk membentuk serikat asal semua persyaratan telah dipenuhi sesuai UU No. 21. Selain itu, UU tersebut juga mengijinkan lebih dari satu serikat pekerja dalam satu perusahaan dan dengan Keputusan Pengadilan Konstitusi No 115/PUU – VII/2009, mengijinkan serikat pekerja minoritas untuk membentuk koalisi (bila diperlukan) dan mengambil bagian dalam negosiasi Collective Labour Agreement (CLA), dimana sebelum itu mereka tidak diikutsertakan dalam negosiasi.
Dewasa ini, sering ditemui adanya lebih dari satu serikat pekerja dalam satu perusahaan dan adanya anggota serikat dari level manajerial dan supervisor dan bahkan staf dalam fungsi HR adalah anggota serikat pekerja. Sebuah grup atau holding company dengan banyak cabang akan memiliki beberapa serikat pekerja yang harus diurus dan tidak mengherankan bila perusahaan seperti itu pada akhirnya bernegosiasi CLA terus-menerus sepanjang tahun dengan serikat pekerja yang berbeda-beda dalam organisasinya yang besar.
Pemerintah dalam beberapa kesempatan telah mengklaim berhasil meningkatkan kesejahteraan sosial para buruh seperti membangun perumahan murah dan memberi layanan rumah sakit yang terjangkau serta mengurangi income kena pajak menjadi Rp 2,000,000. Lebih dari itu, Keputusan Menteri No 16, 2011 mengijinkan adanya perwakilan karyawan, bila tidak ada serikat pekerja dalam korporasi, untuk memberikan masukan dan rekomendasi terhadap isi peraturan perusahaan.
Meskipun sudah begitu, kita masih saja mendengar dan membaca di berita tentang serikat-serikat pekerja yang berdemonstrasi tentang upah minimum, kontrak karyawan, outsourcing dan lain-lain. Meskipun perusahaan mengklaim bahwa mereka telah memenuhi syarat normatif sesuai UU, mengelola serikat pekerja tetap saja menjadi tantangan yang dihadapi banyak perusahaan. Jadi apabila perusahaan sudah memenuhi semua persyaratan minimum (normatif) yang ditentukan pemerintah, apakah ini berarti perusahaan sudah terbebas dari isu-isu dengan serikat pekerja? Jawabannya tentu saja: tidak; malah justru tantangan untuk sebagian besar perusahaan terus bertambah untuk bisa mengelola tuntutan yang terus meningkat dari serikat buruh, menyediakan lingkungan kerja yang kondusif serta meningkatkan produktivitas dan mencapai obyektif perusahaan.
Isu Industrial Relations atau interpretasi UU tenaga kerja dalam beberapa kesempatan telah dibawa ke pengadilan konstitusi Indonesia (contoh: outsourcing, koalisi serikat pekerja dalam negosiasi CLA). Bagi sebagian perusahaan dan profesional HR pada khususnya situasi saat ini lebih rumit sementara bagi yang lain kondisinya semakin jelas “Saya tidak merasa serikat pekerja sebagai beban”; Anda perlu tahu apa yang mereka harapkan dan mengelola ekspektasi tersebut,” kata Amyra Sindukusumo, Sr. HR Manager CNOOC. “Dulu lebih mudah mengelola serikat pekerja tetapi sekarang mereka mendapatkan dukungan melalui afiliasi dengan serikat pekerja eksternal,” kata Agus Sunarto, HR Manager Bekaert. Biar bagaimana pun perusahaan harus bisa mengelola serikat pekerja.
Ada banyak kesulitan bagi perusahaan yang gagal mengelola dengan baik serikat pekerja seperti ketidakpercayaan pada manajemen dan membuat karyawan beralih pada serikat pekerja menghasilkan karyawan yang tidak terlibat (engage) serta produktivitas rendah; membuka kesempatan kepada serikat pekerja untuk terlibat dalam pengelolaan perusahaan. Saat ini, serikat pekerja lebih terbuka dalam mengekspresikan diri tanpa rasa takut karena mereka sudah memahami hak mereka dan dengan akses pada teknologi komunikasi, semakin mudah mendapatkan dan menyebarkan informasi; meski belum tentu valid dan dapat diandalkan tetapi informasi seperti itu dapat mempengaruhi serikat pekerja dan karyawan. Manajemen harus bisa mengantisipasi reaksi mereka atau konsekuensinya dan karena itu sebaiknya mengambil langkah proaktif dan preventif.
Mengelola serikat pekerja lebih menantang saat ini dibanding sebelumnya dan ada berbagai pendekatan untuk memastikan hubungan yang harmonis dengan serikat pekerja dan tempat kerja yang kondusif untuk karyawan yang pada akhirnya nanti akan meminimalkan isu industrial relations:
Membuka dan mempertahankan jalur komunikasi secara berkesinambungan
Komunikasi adalah faktor penting dalam membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan serikat pekerja dan hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk memahami cara berpikir mereka, isu-isu dan mendapatkan kepercayaan mereka terhadap manajemen. Komunikasi tidak hanya dilakukan pada saat negosiasi CLA tetapi dalam rapat-rapat rutin maupun secara informal. Komunikasi melalui edukasi kepada mereka tentang UU tenaga kerja dan kebijakan dan proses HR perusahaan dan filosofi di belakang kebijakan tersebut adalah cara untuk mulai menciptakan dan membangun kepercayaan.
Amyra Sindukusumo, menjelaskan remunerasi perusahaan, manajemen kinerja, pengembangan karir dan kebijakan promosi dan proses “membuat mereka (perwakilan serikat pekerja) sama pintar dengan kita.”  Dia juga mengirim perwakilan serikat pekerja secara rutin untuk pelatihan tentang Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia. Dengan dua serikat pekerja dalam perusahaannya, Agus Sunarto memastikan adanya komunikasi yang terbuka dengan perwakilan serikat pekerja. “Kita harus mendorong mereka untuk berkomunikasi dengan kita melalui komunikasi yang terbuka dan jujur dan juga memperlakukan kedua serikat pekerja dengan adil.”
Memberdayakan line manager dan supervisor
Line manager/supervisor memainkan peranan penting dalam mengidentifikasi isu-isu yang dihadapi karyawan dan mereka seharusnya dibekali dengan skill dan diberdayakan agar dapat menyelesaikan isu karyawan sebelum membesar dan harus melibatkan serikat pekerja. Fungsi-fungsi HR seharusnya membekali para line manager ini dengan skill yang diperlukan dan juga memfasilitasi apabila ada isu antara karyawan dan line manager. Manajemen seharusnya memberi mereka otoritas untuk menyelesaikan masalah SDM yang muncul di tempat kerja.
Menggunakan sistem dan tools HR
Sistem dan tools HR dirancang agar manajemen dapat mengelola organisasi dan SDM secara efektif. Tools ini juga dapat digunakan untuk mengelola serikat pekerja. Agar sebuah sistem dan tools HR dapat diterima SDM dalam organisasi, adalah suatu keharusan bahwa eksekusi dipersepsikan oleh karyawan sebagai adil dan obyektif. Riset Hay Group menemukan bahwa persepsi karyawan tentang keadilan dan kesamaan perlakuan adalah pendorong retention danengagement.
Performance Management System (PMS)
Manajemen kinerja adalah proses yang terjadi selama masa penilaian, biasanya 12 bulan. Dimulai dari membuat obyektif berdasarkan obyektif perusahaan yang kemudian dialirkan ke bawah menjadi obyektif individu, yang diikuti dengan proses coaching yang terus-menerus dan kemudian penilaian kinerja untuk mengukur  pencapaian obyektif, mengidentifikasikan gap performance dan rencana pengembangan individual. PMS dirancang untuk karyawan dan superior untuk menjaga komunikasi yang terus-menerus untuk mendapatkan kejelasan ekspektasi dan arah perusahaan. Umpan balik yang terus menerus sepanjang tahun menghindari adanya kejutan pada masa appraisal akhir tahun dan meminimalkan jumlah karyawan yang tidak puas. Selain itu, apabila ada isu karyawan dapat diidentifikasi dan diselesaikan dengna fungsi HR memberikan nasihat dan fasilitasi.
Untuk berhasil mengeksekusi sebuah proses manajemen kinerja, membutuhkan komitmen dari top management untuk memastikan keseluruhan proses diimplementasikan dengan ketat di seluruh organisasi dengan top management sebagai role model dalam proses eksekusi. Dalam sebuah survei yang melibatkan 1660 business leaders, 64% mengindikasikan bahwa performance management adalah adalah faktor kedua paling penting untuk mendorong kinerja bisnis setelah engagement karyawan.
Memang suatu tantangan bagi top management dan fungsi HR untuk memastikan proses manajemen kinerja tidak dipersepsikan sebagai “paper exercise” tetapi sebagai sebuah langkah yang memberi manfaat kepada organisasi dan karyawan.
Proses manajemen kinerja yang dieksekusikan dengan baik dapat mendukung tercapainya lingkungan kerja yang menyenangkan bagi semua karyawan.
Reward Management
Urusan gaji dan benefit merupakan isu yang paling sering diangkat oleh serikat pekerja. Meski sudah memenuhi semua normatif dari pemerintah, masih saja ada isu dan manajemen selalu menghadapi tantangan ini. Ada beberapa faktor yang menentukan berapa seharusnya kita membayar seorang pegawai. Faktor itu adalah posisi (job size), market value (berapa harga posisi tersebut di pasaran) dan faktor person (tingkat kompetensi orang tersebut dalam pekerjaannya). Sebuah sistem reward yang mengintegrasikan semua faktor ini adalah bahan untuk tercapainya keadilan dalam menghargai SDM. Sebagai bagian dari proses eksekusi, edukasi pada karyawan dan serikat pekerja untuk memastikan pengertian yang baik terhadap konsep reward adalah langkah awal penerimaan mereka.
Praktik remunerasi ini harus jelas dan konsisten untuk mendapatkan penerimaan dari karyawan dan serikat pekerja. Mendidik serikat pekerja tentang administrasi gaji dan benefit: kenaikan gaji, variable pay, promosi dan benefit dan bagaimana hal tersebut berhubungan dengan kinerja perusahaan dan kondisi bisnis—hal ini akan memulai diskusi efektif dengan serikat pekerja tentang remunerasi dan penghargaan. Perubahan di pasar atau kondisi ekonomi; mengantisipasi hal ini dan mengatasinya terlebih dahulu untuk mendapatkan kepercayaan karyawan dan serikat pekerja (contoh: kenaikan harga BBM). Tantangan manajemen adalah sejauh mana mereka hendak membagi informasi tentang konsep reward perusahaan serta data finansial kepada karyawan dan serikat pekerja.
Perencanaan dan Pengembangan Karyawan
Peluang karir dalam perusahaan akan memotivasi dan mendorong karyawan untuk unggul. Tetapi sebelum itu, mereka harus melihat peluang karir itu ada di perusahaan dan peluang yang sama diberikan pada semua orang yang layak. Sistem pengembangan karyawan memetakan jalur karir dalam organisasi, mendefinisikan kebutuhan people-job fit (kompetensi) dan rencana pengembangan untuk mempersiapkan SDM untuk maju dalam perusahaan. Proses manajemen kinerja juga memberikan masukan kepada rencana pengembangan karyawan ini. Memiliki sistem seperti ini dapat mengatasi isu keadilan dan peluang peningkatan karir kepada mereka yang menunjukkan potensi di perusahaan. Komitmen top management untuk memelihara talent dari dalam dan kapabilitas fungsi HR untuk mendorong prose ini penting untuk menciptakan budaya pengembangan SDM.
Umpan Balik Karyawan
Mendapatkan masukan karyawan melalui survei umpan balik karyawan akan memberikan masukan tentang tingkat engagement karyawan terhadap perusahaan. Karyawan yang terlibat (engaged) berarti mereka antusias dengan pekerjaan mereka, semakin terlibat seorang karyawan semakin dia berkomitmen dan bersedia melakukan hal-hal untuk kepentingan perusahaan. Riset Hay Group menemukan bahwa karyawan yang highly engaged dan enabled akan 50% kemungkinan melebihi ekspektasi perusahaan akan kinerja mereka dan menghasilkan peningkatan revenue 4.5 kali lebih besar dari perusahaan di kuartil dasar.
Melalui umpan balik karyawan, manajemen dapat mengidentifikasikan isu-isu penting terkait SDM dan organisasi dan melakukan aksi untuk mengatasi isu ini sebelum dibawa ke serikat pekerja. Dengan merespon dan mengatasi isu ini, akan membangun kepercayaan pada manajemen karena hal ini menunjukkan perusahaan peduli dan memperhatikan isu karyawan dan organisasi. Beni Edmunandar, mantan GM HR BCS Logistics mengatakan: “Survei umpan balik karyawan membantu mengidentifikasikan isu dan juga inisiatif-inisiatif (program intervensi) yang akan dikembangkan dan dieksekusikan di organisasi.” Agus Sunarto: “Survei ini membantu memprioritaskan inisiatif untuk dijalankan terlebih dahulu.” Amyra Sindukusumo berkomentar: “Baik bagi perusahaan memahami persepsi karyawan tentang departemen HR, manajemen, dan organisasi secara keseluruhan.”
Tantangan manajemen untuk membuat respon yang tepat waktu melalui program intervensi yang direncanakan dan dikalkulasikan dengan baik akan menghasilkan hasil jangka panjang juga. Dengan begini, serikat pekerja dan karyawan dapat melihat komitmen manajemen terhadap karyawan dan organisasi dan membangun kepercayaan mereka.
Pada akhirnya, sistem dan tools HR (PMS, reward, pengembangan karyawan) harus diintegrasikan agar efektif dan dipandang sebagai adil dan obyektif oleh karyawan dan serikat pekerja. Survei umpan balik karyawan memberikan informasi berharga tentang isu SDM dan organisasi yang perlu diatasi. Untuk pertumbuhan berkesinambungan dan memberikan value kepada shareholder, penting bagi manajemen untuk menciptakan tempat kerja yang kondusif, karyawan yang engaged dan team manajemen yang dipercaya oleh karyawan dan serikat pekerja. Melalui jalur komunikasi yang terbuka, memberdayakan line manager dan menggunakan sistem dan tools HR, manajemen dapat mencapai tujuannya dan fungsi-fungsi HR akan benar-benar memberikan added valuekepada organisasi dalam peranan yang mereka mainkan dalam mengelola serikat pekerja.

Oleh : Evita Hadiz
*) Penulis adalah konsultan Hay Group Indonesia
Diterjemahkan dari artikel asli berbahasa Inggris